Mengenal Lebih Dekat RA Kartini
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun).
Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).
Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.
Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan
Siapa sebenarnya ibu RA Kartini?
Siapa sebenarnya ibu RA Kartini? istri sah (Garwa Padmi/ Permaisuri) atau Garwa Ampil ( baca: selir) atau ‘istri muda’?
Polemik yang berkembang di masyarakat sudah terjawab kini. Fakta Sejarah menyebutkan bahwa istri bupati Rembang ke 7 Djojo Adiningrat
yang pertama R.A.A.A Sukarmilah wafat pada 13 November 1902 dan tidak
mempunyai anak. Setahun kemudian tepatnya 12 November 1903, bupati
Rembang menikahi RA Kartini dengan cara sederhana. RA Kartini wafat
pada 17 September 1904, 4 hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 13
September 1904, ia melahirkan anak yang di beri nama Singgih/ RM Soesalit.
Posisi saat RA Kartini meninggal atau menghembuskan nafasnya terakhir
yaitu berada di pangkuan suaminya (menurut pengakuan para abdi dalem
yang ada saat peristiwa itu), bukan di atas tempat tidur (seperti dalam
film RA Kartini yang di sutradarai oleh alm Sjuman Djaya).
RM
Soesalit pernah menjabat sebagai Panglima Divisi III/ Diponegoro di
kota Yogyakarta dan Magelang ( periode 1 Oktober 1946 – 1 Juni 1948)
dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. RM Soesalit menikahi Gusti Bendoro A.A Moerjati, putri Susuhunan Paku Buono IX dan mempunyai dua putri yaitu R.A Srioerip dan R.A Sri Noerwati
(putra pertama meninggal dan istri RM Soesalit meninggal saat
melahirkan putri kedua). Dalam perjalanan waktu, RM Soesalit
memperistri Ray. Loewiyah Soesalit DA dan mempunyai Putra tunggal, yaitu : RM. Boedi Setiyo Soesalit ( cucu RA Kartini) yang menikahi Ray. Sri Biatini Boedi Setio Soesalit. Dari pernikahan itu dikarunia 5 orang anak (cicit dari R.A Kartini) yakni: RA.
Kartini Setiawati Soesalit, RM. Kartono Boediman Soesalit,RA Roekmini
Soesalit, RM. Samingoen Bawadiman Soesalit, dan RM. Rahmat Harjanto
Soesalit. Mayjen RM Soesalit Djojo Adiningrat sendiri
meninggal di sebuah ruangan di bangsal Pavilliun Rumah Sakit RSPAD
pada 17 Maret 1962, tepat jam 05.30 WIB, di makamkan di desa Bulu,
Rembang dekat dengan makam ibundanya RA Kartini. Tepat tanggal 21 April
1979, alm Mayjen RM Soesalit Djojo Adiningrat mendapat anugerah dari
Pemerintah Republik Indonesia berupa Tanda Kehormatan Bintang Gerilya.
Kebangsawanan Raden Ajeng
Raden Ajeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono,
seorang guru agama di Teluk Awur, Jepara.Ayah Kartini pada mulanya
adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu
mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A.
Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan
(Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkimpoian ( baca:
perkawinan;pernikahan) itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati
di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Museum Kamar Pengabdian dan Makam RA Kartini.
Menyambut
visit Jawa Tengah 2013 , Rembang berbenah diri untuk menjadi salah satu
destinasi wisata sejarah di Jawa Tengah. Sejarah pengabdian dan akhir
hayat RA Kartini di kota ini sangatlah kental. Jejak sejarah RA Kartini
sampai saat ini masih di lestarikan, seperti : Museum Kamar Pengabdian
dan Makam RA Kartini yang sudah mengalami renovasi dan dilengkapi
dengan fasilitas canggih. Museum Kamar Pengabdian berlokasi di
lingkungan rumah dinas bupati Rembang ini merupakan tempat dimana RA
Kartini melakukan segala aktivitas, menulis buah pikiran, termasuk
melahirkan putra sau-satunya alm RM Soesalit. Sedangkan makam RA
Kartini terletak di desa Bulu 17 kilometer dari kota Rembang, berbentuk
pesanggrahan dengan cungkup atap berbentuk joglo, di sanalah RA Kartini
bersama suaminya bupati Djojo Adiningrat serta putranya di semayamkan.
( Teks : Eka C Herlambang Foto: Dok. Dinbudparpora Rembang; Eka)
Caption : Potret studio R.A. Kartini kecil dengan orangtua dan saudara-saudaranya. (foto 1890-an).Foto kabinet bertandatangan Kartini dan saudarinya. Kiri-kanan: Kartini, Kardinah, Roekmini